Makanan Sebagai Pelarian Dari Masalah

Rabu, 01 Juni 2016

Ada salah satu sifat dari manusia dalam menjadikan makanan sebagai pelarian dari masalah yang sedang dialaminya. Berikut merupakan dampak akibat menjadikan makanan sebagai pelarian masalah yaitu
Peredam stres
Ada beragam jenis eating disorder, salah satunya emotional eating. Menurut dr. Grace Judio-Kahl, MSc, MH, CHt, peneliti tingkah laku dan konsultan penurunan berat badan dari klinik lightHOUSE, emotional eating merupakan situasi di mana seseorang menyalahgunakan makanan sebagai obat antistres.       
Misalnya, nih, kita tertekan menjelang presentasi yang harus dilakukan di depan para CEO. Alih-alih menyelesaikan bahan presentasi, kita pun ‘kabur’ dan menyibukkan diri dengan aneka kerupuk. Atau, kita sibuk mengunyah cokelat untuk menghilangkan ketegangan saat menunggu telepon dari gebetan.
“Saat stres, idealnya kita menyelesaikan masalah, curhat, atau menenangkan diri. Tapi bagi emotional eater, makanan menjadi pelampiasan perasaan gundahnya,” ujar Grace.
Sejenis narkoba
Beberapa orang mengonsumsi narkoba dengan alasan untuk melupakan masalah sekaligus membuat perasaan happy. Nah, ini alasan yang sama, tuh, bagi seseorang yang hobi makan saat stres. Mereka menganggap makanan bisa bikin bahagia.
Padahal, nih, efek makanan tidaklah sedahsyat narkoba. Saat mencekoki dirinya dengan narkoba, seseorang memang bisa ‘melayang’ dalam hitungan menit. Hasilnya, dia nggak ingat lagi dengan masalah yang dihadapi. Namun, nggak demikian dengan makanan.
Memang, sih, makanan, terutama yang mengandung gula, memicu munculnya serotonin—senyawa yang berperan membuat seseorang merasa happy. Tapi, efeknya ini nggak seberapa. Faktanya, nggak ada, tuh, makanan yang bisa membuat seseorang langsung merasa bahagia.
“Seseorang menjadi stres karena ada hal yang tidak bisa dia kendalikan. Maka, dia pun memilih makanan sebagai sesuatu yang bisa diatur sesukanya. Inilah yang membuatnya merasa senang, bukan karena makanan yang dikonsumsinya. Jadi lebih karena dia punya pilihan dan kontrol,” tambah Grace.
Waspada obesitas
Sebenarnya sah-sah saja jika kita ingin ngemil. Asalkan, nih, nggak berlebihan. Sayangnya, sih, emotional eater cenderung sulit mengontrol jumlah asupan makanan yang dikonsumsinya.     
“Seseorang bisa dibilang emotional eater jika sudah membahayakan dirinya sendiri—bahkan orang lain. Dia sadar makan terlalu banyak, tapi nggak berhenti melakukannya meski kadar kolesterol di tubuhnya meningkat,” jelas Grace.
Dampak teringan dari emotional eating adalah tubuh melar. Namun, ini bisa berujung pada penyakit. Kelebihan makanan akan ditimbun dalam bentuk lemak di perut bagian dalam, bukan di bawah kulit. Hasilnya, tubuh berisiko mengeluarkan 200 jenis hormon dan protein penyebab sindrom metabolik seperti diabetes, hipertensi, hingga penyakit kardiovaskular.
Jika nggak mampu menata emosi, sisi psikologis emotional eater juga bisa terganggu. Dia akan merasa cemas, depresi, berhalusinasi, dan bukan nggak mungkin berakhir dengan bunuh diri. 
“Emotional eating nggak hanya memiliki dampak panjang pada fisik seperti serangan jantung, stroke, atau kematian, tapi juga gangguan psikologis,” jelas Grace.
Bantuan ahli
Agar nggak terperosok lebih jauh, kebiasaan makan saat stres harus segera diatasi. Berhubung para penderita umumnya mudah stres, cemas, bahkan parno, dia pun disarankan untuk melakukan komunikasi intens dengan psikolog. Tujuannya: memperoleh ‘siraman rohani’ agar dia mendapat pandangan baru tentang masalahnya.       
Kalau pun nggak dengan psikolog, dia juga bisa berbicara dengan orang terdekat agar pikirannya terbuka. Yang nggak kalah pentingnya, nih, dia harus menyadari kalau solusi untuk menghilangkan stres adalah dengan mengatasinya, bukan makan.
“Psikolog cuma bisa mengarahkan. Yang tahu bagaimana cara mengatasi masalahnya, ya, si emotional eater. Pastinya, sih, cobalah menenangkan diri dulu agar bisa mencari jalan keluar dengan kepala dingin,” kata Grace.
Ada beragam cara untuk menenangkan diri—selain makanan tentunya. Misalnya: bermeditasi atau mendengarkan musik. Setelah itu, barulah kita bisa menelaah masalah yang dihadapi dan mendapatkan solusi. Masalah beres, hati pun tenang sehingga nggak lagi membutuhkan pelarian ke makanan

Sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS