Ada salah satu sifat
dari manusia dalam menjadikan makanan sebagai pelarian dari masalah yang sedang
dialaminya. Berikut merupakan dampak akibat menjadikan makanan sebagai pelarian
masalah yaitu
Peredam
stres
Ada beragam jenis
eating disorder, salah satunya emotional eating. Menurut dr. Grace Judio-Kahl,
MSc, MH, CHt, peneliti tingkah laku dan konsultan penurunan berat badan dari
klinik lightHOUSE, emotional eating merupakan situasi di mana seseorang
menyalahgunakan makanan sebagai obat antistres.
Misalnya, nih, kita
tertekan menjelang presentasi yang harus dilakukan di depan para CEO. Alih-alih
menyelesaikan bahan presentasi, kita pun ‘kabur’ dan menyibukkan diri dengan
aneka kerupuk. Atau, kita sibuk mengunyah cokelat untuk menghilangkan
ketegangan saat menunggu telepon dari gebetan.
“Saat stres, idealnya
kita menyelesaikan masalah, curhat, atau menenangkan diri. Tapi bagi emotional
eater, makanan menjadi pelampiasan perasaan gundahnya,” ujar Grace.
Sejenis
narkoba
Beberapa orang
mengonsumsi narkoba dengan alasan untuk melupakan masalah sekaligus membuat
perasaan happy. Nah, ini alasan yang sama, tuh, bagi seseorang yang hobi makan
saat stres. Mereka menganggap makanan bisa bikin bahagia.
Padahal, nih, efek
makanan tidaklah sedahsyat narkoba. Saat mencekoki dirinya dengan narkoba,
seseorang memang bisa ‘melayang’ dalam hitungan menit. Hasilnya, dia nggak
ingat lagi dengan masalah yang dihadapi. Namun, nggak demikian dengan makanan.
Memang, sih, makanan,
terutama yang mengandung gula, memicu munculnya serotonin—senyawa yang berperan
membuat seseorang merasa happy. Tapi, efeknya ini nggak seberapa. Faktanya,
nggak ada, tuh, makanan yang bisa membuat seseorang langsung merasa bahagia.
“Seseorang menjadi
stres karena ada hal yang tidak bisa dia kendalikan. Maka, dia pun memilih
makanan sebagai sesuatu yang bisa diatur sesukanya. Inilah yang membuatnya
merasa senang, bukan karena makanan yang dikonsumsinya. Jadi lebih karena dia
punya pilihan dan kontrol,” tambah Grace.
Waspada
obesitas
Sebenarnya sah-sah saja
jika kita ingin ngemil. Asalkan, nih, nggak berlebihan. Sayangnya, sih,
emotional eater cenderung sulit mengontrol jumlah asupan makanan yang
dikonsumsinya.
“Seseorang bisa
dibilang emotional eater jika sudah membahayakan dirinya sendiri—bahkan orang
lain. Dia sadar makan terlalu banyak, tapi nggak berhenti melakukannya meski
kadar kolesterol di tubuhnya meningkat,” jelas Grace.
Dampak teringan dari
emotional eating adalah tubuh melar. Namun, ini bisa berujung pada penyakit.
Kelebihan makanan akan ditimbun dalam bentuk lemak di perut bagian dalam, bukan
di bawah kulit. Hasilnya, tubuh berisiko mengeluarkan 200 jenis hormon dan
protein penyebab sindrom metabolik seperti diabetes, hipertensi, hingga
penyakit kardiovaskular.
Jika nggak mampu menata
emosi, sisi psikologis emotional eater juga bisa terganggu. Dia akan merasa
cemas, depresi, berhalusinasi, dan bukan nggak mungkin berakhir dengan bunuh
diri.
“Emotional eating nggak
hanya memiliki dampak panjang pada fisik seperti serangan jantung, stroke, atau
kematian, tapi juga gangguan psikologis,” jelas Grace.
Bantuan
ahli
Agar nggak terperosok
lebih jauh, kebiasaan makan saat stres harus segera diatasi. Berhubung para
penderita umumnya mudah stres, cemas, bahkan parno, dia pun disarankan untuk
melakukan komunikasi intens dengan psikolog. Tujuannya: memperoleh ‘siraman
rohani’ agar dia mendapat pandangan baru tentang masalahnya.
Kalau pun nggak dengan
psikolog, dia juga bisa berbicara dengan orang terdekat agar pikirannya
terbuka. Yang nggak kalah pentingnya, nih, dia harus menyadari kalau solusi
untuk menghilangkan stres adalah dengan mengatasinya, bukan makan.
“Psikolog cuma bisa
mengarahkan. Yang tahu bagaimana cara mengatasi masalahnya, ya, si emotional
eater. Pastinya, sih, cobalah menenangkan diri dulu agar bisa mencari jalan
keluar dengan kepala dingin,” kata Grace.
Ada beragam cara untuk
menenangkan diri—selain makanan tentunya. Misalnya: bermeditasi atau
mendengarkan musik. Setelah itu, barulah kita bisa menelaah masalah yang
dihadapi dan mendapatkan solusi. Masalah beres, hati pun tenang sehingga nggak
lagi membutuhkan pelarian ke makanan
Sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar