Lulusan perguruan
tinggi Indonesia sedang mengalami dilema, sebab gelar ijazah pendidikan tinggi
yang mereka raih tak lagi jadi jaminan mudah untuk mendapat pekerjaan.
Kesulitan mereka terserap dunia kerja semakin bertambah berat, karena mulai 1
Januari tahun ini mereka juga bersaing dengan tenaga kerja asing dari
negara-negara ASEAN sebagai dampak berlakunya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA)
Sulitnya lulusan
universitas lokal memperoleh pekerjaan sudah terlihat dari angka pengangguran
terdidik Indonesia yang meningkat setiap tahun. Berdasarkan data Badan Pusat
Statistik (BPS) pada Agustus 2014, di Indonesia ada 9,5 persen (688.660 orang)
dari total penganggur yang merupakan alumni perguruan tinggi.
Mereka memiliki ijazah
diploma tiga atau ijazah strata satu (S-1) . Dari jumlah itu, penganggur paling
tinggi merupakan lulusan universitas bergelar S-1 sebanyak 495.143 orang.
Angka pengangguran
terdidik pada 2014 itu meningkat dibandingkan penganggur lulusan perguruan
tinggi pada 2013 yang hanya 8,36 persen (619.288 orang) dan pada 2012 sebesar
8,79 persen (645.866 orang).
"Tingkat
pengangguran terbuka Indonesia berdasarkan pendidikan yang ditamatkan cukup
membahayakan," kata mantan Wakil Menteri Pendidikan Nasional, Fasli
Djalal, pada Kompas, (27/4/2015).
Menurut Fasli,
Indonesia perlu mendesain ulang konsep pendidikan tinggi agar lulusannya mudah
diserap industri.
"Apa masih perlu
mendidik anak selama empat tahun di perguruan tinggi atau cukup memberikan
pelatihan bersertifikat internasional enam bulan agar mereka bisa langsung
bekerja di sejumlah negara," ujarnya.
Banyaknya lulusan
perguruan tinggi menganggur karena adanya ketimpangan antara profil lulusan
universitas dengan kualifikasi tenaga kerja siap pakai yang dibutuhkan
perusahaan. Berdasarkan hasil studi Willis Towers Watson tentang Talent
Management and Rewards sejak tahun 2014 mengungkap, delapan dari sepuluh perusahaan
di Indonesia kesulitan mendapatkan lulusan perguruan tinggi yang siap pakai.
Masih menurut hasil
studi itu, semestinya perusahaan tidak sulit mencari tenaga kerja, sebab angka
pertumbuhan lulusan perguruan tinggi di Indonesia setiap tahun selalu bertambah.
Sementara itu, angka permintaan perusahaan terhadap tenaga kerja selalu lebih
rendah dari pada jumlah lulusannya.
"Setelah India dan
Brasil, Indonesia menempati peringkat ketiga sebagai negara dengan pertumbuhan
lulusan universitas lebih dari 4 persen dan rata-rata surplus 1.5 persen per
tahun. Tapi, perusahaan tetap kesulitan mendapatkan karyawan yang berpotensi
tinggi," ujar Consultant Director, Willis Tower Watson Indonesia, Lilis
Halim pada diskusi A Taste Of L’oreal, Rabu (20/4/2016).
Susah terserapnya
lulusan perguruan tinggi Indonesia karena tidak memiliki skill yang dibutuhkan
perusahaan dan tidak punya critical skill.
"Skill adalah
langkah utama memasuki dunia kerja, setelah itu harus punya critical skill jika
ingin berkembang dan masuk jajaran manajemen perusahaan," kata Lilis.
Berdasarkan studi itu,
Lilis mengatakan bahwa di era digital saat ini lulusan perguruan tinggi harus
punya digital skills, yaitu tahu dan menguasai dunia digital. Agile thinking
ability - mampu berpikir banyak skenario- serta interpersonal and communication
skills - keahlian berkomunikasi sehingga berani adu pendapat.
Terakhir, menurut dia,
para lulusan juga harus punya global skills. Skil tersebut meliputi kemampuan
bahasa asing, bisa padu dan menyatu dengan orang asing yang berbeda budaya, dan
punya sensitivitas terhadap nilai budaya.
Harus
bersinergi
Pakar pendidikan
Indonesia, Arief Rachman, yang juga jadi panelis dalam diskusi tersebut
mengatakan bahwa kualitas lulusan perguruan tinggi yang tak sesuai kebutuhan
dunia industri adalah akibat kesalahan sistem pendidikan Indonesia selama 20
tahun lalu.
"Selama ini
mahasiswa hanya disuruh belajar untuk lulus jadi sarjana. Mereka hanya mengejar
status bukan proses untuk menjadi sarjana. Akhirnya mereka jadi tak punya
pemahaman apa-apa terhadap proses pendidikan yang sudah dilalui," ujarnya.
Arief juga mengajak
orang tua, guru dan dosen untuk
mengajarkan kepada generasi muda agar tidak takut terhadap perubahan. Ia
juga mengkiritik terhadap orang yang kontra dengan perubahan kurikulum
pendidikan.
"Jangan takut
kurikulum pendidikan berubah, sebab perubahan itu juga untuk menyesuaikan
dengan kebutuhan industri dan dunia yang dinamis," kata Arief.
Guru besar Universitas
Negeri Jakarta (UNJ) itu juga berharap agar pemerintah dan perguruan tinggi
bisa mengajak pihak swasta untuk menyusun kurikulum yang tepat bagi perguruan
tinggi.
"Kurikulum harus
dibentuk juga oleh teman-teman dari swasta, sebab dari swasta kita jadi tahu
pengalaman di lapangan dan itu merupakan guru paling hebat bagi
mahasiswa," ujarnya.
Sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar