Hingga tahun 749, Kyoto merupakan
ibu kota sekaligus pusat kebudayaan Jepang. Kyoto menjadi tempat lahirnya
banyak industri, mulai industri tradisional sampai cikal bakal industri modern.
Kebanyakan dari industri itu terus bertahan hingga kini.
Awal lahirnya modernisasi Jepang
mencuat pada masa Restorasi Meiji. Ibu kota pun akhirnya ke Tokyo. Kereta api,
kapal uap, telegram, dan beragam teknologi baru segera diborong darinegara barat
dan diberi sentuhan bergaya Jepang.
Tak hanya itu. Lebih dari 3.000
orang Eropa dan Amerika juga didatangkan sebagai tenaga pengajar.
Sejak saat itulah, industrimanufaktur menjamur di seluruh wilayah Jepang.
Pengembangan teknologi kian pesat, mulai konsep sederhana mesin pemintal
otomatis, hingga sukses merangkai kendaraan beroda empat.
Industri-industri itu kemudian
menjadi penyokong perekonomian Jepang hingga kini. Bahkan, pada 2008 industri
Jepang mampu mengalahkan Amerika Serikat sebagai negara industri terbaik di
dunia.
Adidaya ekonomi Jepang
Perekonomian Jepang merupakan yang
terbesar nomor dua di dunia setelah AS. Negeri sakura ini juga pernah
tercatat sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat sepanjang sejarah
dunia. Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Jepang mencapai sekitar 4,5 triliun
dollar AS.
Pada 2006, sebanyak 326 perusahaan
Jepang masuk dalam daftarForbes Global 2000. Angka ini mencapai 16,3
persen dari 2000 perusahaan publik terkemuka di dunia.
Lalu, apa resep keberhasilan mereka?
Masyarakat Jepang memiliki filosofi
"Monozukuri" yang telah berakar selama satu milenium. Berbekal
filosofi ini, Jepang berhasil melahirkan berbagai inovasi sistem teknologi
pendukung industri. Apa itu Monozukuri?
Secara etimologis, Monozukuri
berasal dari kata "mono" yang berarti produk atau barang dan
"zukuri" yang berarti proses pembuatan, penciptaan atau produksi
(manufaktur). Namun, secara harfiah, maknanya tak sesederhana itu.
Monozukuri berarti memiliki semangat
menciptakan dan memproduksi produk-produk unggul, diimbangi kemampuan untuk
terus menyempurnakan proses dan sistem produksi di dalamnya. Filosofi ini
menekankan proses produksi yang penuh ketelitian, ketangguhan, dan kesungguhan.
www.shutterstock.comPara pekerja di pasar ikan Tsukiji fish di
Tokyo, Jepang sedang melakukan pengecekan produk makanan sebelum
mengantarkannya ke pelanggan.
Menghidupkan filosofi Monozukuri
Kualitas suatu produk ditentukan
oleh harga, desain, pengaruh merek terhadap konsumen, proses, dan biaya
produksi. Namun, lebih dari itu, Monozukuri juga menuntut kinerja maksimal pada
proses produksi, baik dari segi biaya, tingkat cacat produk atau defect rate,
estimasi waktu produksi, dan pengembangan teknologi pendukung.
Belajar dari sistem produksi massal
gaya barat yang montok, berat, dan panjang, Jepang kemudian berhasil menemukan
sistem produksi yang lebih kompetitif. Yaitu, komitmen untuk melakukan kontrol
terhadap kualitas saat proses produksi sehingga memicu perbaikan produk.
Dalam industri manufaktur otomotif, pemborosan dalam proses produksi bisa ditekan dengan konsep Toyota Production System (TPS) seperti yang dilakukan oleh PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN). Salah satu konsep dalam TPS ini yaitu, efisiensi proses produksi menggunakan pilar just in time (JIT). JIT berarti, PT TMMIN hanya memproduksi sejumlah produk sesuai permintaan dan pada saat produk itu diminta.
Dalam industri manufaktur otomotif, pemborosan dalam proses produksi bisa ditekan dengan konsep Toyota Production System (TPS) seperti yang dilakukan oleh PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN). Salah satu konsep dalam TPS ini yaitu, efisiensi proses produksi menggunakan pilar just in time (JIT). JIT berarti, PT TMMIN hanya memproduksi sejumlah produk sesuai permintaan dan pada saat produk itu diminta.
Industri manufaktur lain seperti PT Epson Indonesia
menerapkan Monozukuri dalam penggunaan teknologi hemat energi, waktu, dan
tenaga kerja. Epson juga mengurangi ukuran dan berat produk, menurunkan dampak
negatif terhadap lingkungan, dan memberikan presisi dan akurasi luar biasa.
Konsep Monozukuri juga telah membuat
Toraya Confectionary, perusahaan pembuat makanan tradisional khas Jepang,
bertahan selama 400 tahun. Padahal, pengelolaannya dilakukan secara
turun-temurun.
Prinsip Toraya dalam membuat kue adalah menyenangkan konsumen, bukan hanya keuntungan semata. Mereka beranggapan, jika konsumen senang, omzet pun secara otomatis mengikuti.
Prinsip Toraya dalam membuat kue adalah menyenangkan konsumen, bukan hanya keuntungan semata. Mereka beranggapan, jika konsumen senang, omzet pun secara otomatis mengikuti.
Contoh nyata lain adalah keberhasilan Rustono, seorang WNI
asal Grobogan Jawa Tengah dalam membangun pabrik tempe di Kyoto,
Jepang. Untuk memperoleh izin produksi, dia harus lulus tes laboratorium,
bertanggung jawab atas kualitas kandungan bahan produksi, dan mematuhi
peraturan daur ulang kemasan. Ini membuktikan, Jepang sangat peduli dengan kualitas
dari awal pembuatan sampai akhir penggunaan produk oleh konsumen.
Di Indonesia sendiri, keanekaragaman produk
tradisional dan industrinya tak kalah bersaing dengan Jepang. Namun, kelemahan
Indonesia adalah kurang bersungguh-sungguh dalam menyulap produk menjadi
sesuatu bernilai tinggi.
Padahal, jika diterapkan dengan baik, Monozukuri dapat
menghidupkan industri-industri kecil dan menengah di Indonesia. Harapannya,
dengan Monozukuri, perekonomian Indonesia pun semakin mantap karena disokong
oleh industri-industri yang tumbuh sehat.
Sumber:
http://edukasi.kompas.com/read/2015/05/28/13262531/Ini.Dia.Rahasia.Sukses.Jepang.Bangun.Kekuatan.Ekonomi.Dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar